profile-image
0
Cerita
0
Joy
 

Fan board

Reffi Ninang Aryani
RANJANG BARU UNTUK MADUKU BAB 1 IJAB QABUL "Sah...?" "Sah...!" Alhamdulillah.  Hari ini adalah hari pernikahanku dan suamiku, Mas Farid. Tepat pada hari ini, tanggal dua, bulan dua. Hari bahagia kami berdua. Hari dimana dua insan manusia telah dihalalkan oleh negara dan agama.  Aku tunaikan janji pada diriku sendiri, di hari ini. Aku berjanji akan berusaha menjadi istri solikhah. Istri yang selalu patuh terhadap suaminya. Lain dari itu, aku juga akan menjadi menantu yang patuh terhadap Bapak dan Ibu mertuaku. "Jadilah seorang Istri yang selalu patuh terhadap suamimu, Min. Kamu juga harus patuh dan taat terhadap Bapak Ibu mertuamu. Hormati mereka seperti kamu menghormati almarhum ayahmu dan almarhumah ibumu," pesan Kakek kepadaku. "Ia, Kek. Semoga saya dapat istiqamah seperti yang Kakek inginkan," tuturku. "Baguslah! Kakek dan saudara-saudaramu pulang dulu. Kamu baik-baik disini!" imbuh kakek. "Nak Farid, jaga cucuku baik-baik. Sayangi dia! Ingat! Kamu harus bisa menjadi sosok suami sekaligus ayah bagi cucuku." Kakekku memastikan bahwa suamiku akan menjagaku sebaik mungkin, sembari sesekali ia menyeka sedikit air mata yang tak sengaja membasahi pipi keriputnya. "InsyaaAllah, Kek. Kakek tidak perlu risau. InsyaaAllah saya akan menjaga dan menyayangi Cucu Kakek. Doakan kami, semoga kami menjadi keluarga sakinah, mawadah, dan warahmah," tandas suamiku. Akhirnya Kakek pun berlalu dari rumah ini bersama rombongan yang ikut mengiringi acara ijab qabulku dengan Mas Farid.  Perlahan aku lihat langkah kaki Kakek pergi ke luar ruangan ini meninggalkanku. Disini. Di tengah keluarga ini. Keluarga baru untukku. Lelaki yang baru aku kenal tak lebih dari empat bulan saja. Kulihat Kakek menengokkan kepalanya ke arahku sebelum ia menghabiskan langkah kakinya dari ruangan ini sembari melempar senyum kepadaku.  Sebenarnya aku tak tega meninggalkan Kakek seorang diri di rumah. Tanpa siapapun. "Semoga Kakek selalu dalam keadaan baik-baik saja dan selalu dalam perlindungan-Nya," lirihku dalam hati. Mas Farid, suamiku, adalah seorang putra tunggal dari bapak mantan kepala desa yang disegani di desa ini.  Kebetulan kami dulu pernah menjadi santriwan dan santriwati di Pondok Al Islam yang berada di kota ini.  Mas Farid adalah seniorku. Namun, kami tak saling mengenal. Aku hanya tahu bahwa Mas Farid adalah seorang senior yang juga menjabat sebagai lurah pondok. Singkatnya, Mas Farid pernah menolong kakekku sewaktu Kakek pulang dari sawah.  Sepeda Kakek yang rusak, membuat Kakek harus pulang jalan kaki dengan memanggul hasil panennya. Dan pada saat itulah hati Mas Farid tergerak untuk mengantar Kakek pulang. Disitulah kami saling mengenal. Ya, kami cepat mengenal. Obrolan kami sangat nyambung, kala itu. Di hari itu saja dan tak lebih dari satu jam lamanya.  Tak lama kami ta'aruf. Bulan November kami bertemu di rumah. Bulan Desember Mas Farid berkunjung ke rumah dengan membawa banyak oleh-oleh. Mas Farid juga membeli bebek peliharaan kakekku dengan harga yang lebih. Mungkin hanya untuk basa-basi saja. Aku yakin, sejatinya waktu itu Mas Farid sedang mengincarku.  Singkatnya, bulan Januari Mas Farid meminangku dan bulan Februari kami menikah. Ya, tepat di hari ini. Alhamdulillah, ya Allah. Semoga kami dapat menjadi pasangan yang saling melengkapi satu sama lain. "Dek Minari, mari silakan duduk! Pasti kamu capek. Seharian duduk terus, pakai baju pengantin seribet ini, ditambah ndak makan apa-apa." Sahut Bapak mertuaku yang bernama Pak Tejo. Mantan Kades Desa Dadapan. Yang terkenal karena kebaikan dan kebijakannya.  "Sudahlah Pakne, biar! Nanti kalau capek juga pasti duduk! Ribut terus Bapak ini!" tukas Ibu mertuaku. Bu Sumirah. Yang lebih familier dipanggil Bu Tejo. "Anu aja, tamu sudah pada pulang. Ini saudara yang rewang-rewang biar ngeberesin semua gawean. Kamu bisa mandi juga makan. Ya! Makan! Harus makan! Dari pagi lho! Pasti lapar. Ayo, ayo! Ini lho Rid, istri kamu mbok ya diajak ke kamar. Kasihan!" Bapak mertuaku menyuruh kami untuk istirahat. Kulihat tangannya mengarah ke sudut pintu kamar Mas Farid yang ada di ruang belakang. "Ayo, Dek! Mas bantu jalan. Susah 'kan pakai baju pengantin seribet ini?" Mas Farid mencoba mencairkan keteganganku. Maklum saja jika aku setegang ini karena hari ini adalah hari pertama kali aku berdekatan dengan seorang laki-laki. Aku ikuti tawaran Mas Farid, suamiku. Aku berjalan menuju kamar suamiku dengan pelan. Tak lupa suamiku memapahku karena aku tak bisa leluasa berjalan dengan baju pengantin seribet ini. Dibukanya pintu kamar ini untukku. Aku lihat kamar suamiku sangat bersih. Maklum saja karena rumah suamiku terbilang cukup mewah yang ada di desa ini. Berbanding terbalik dengan rumahku. Rumah kayu sederhana. Namun, penuh cinta di dalamnya. Ya, cinta kakekku untukku.  Kakek luar biasa yang sudah banyak jasanya untukku. Kakek sekaligus ayah juga ibu. Kakek bilang, ayahku meninggal saat aku umur tiga tahun. Kala itu ayahku jatuh dari pohon kelapa karena menyadap nira. Sedangkan ibuku meninggal karena sakit saat aku berumur empat tahun. Disaat umur itulah, aku hidup bersama Kakek seorang diri. Tanpa Ayah juga Ibu. "Dek, itu kamar mandinya. Silakan kalau mau bersih-bersih badan!" "Ya, Mas." Aku menuju kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidur ini. "Ohya, Mas. Handuk. Ada?" tanyaku dari dalam kamar mandi. "Oh, lupa. Di almari, ya! Almari putih," ucap Mas Farid. Kulihat tangannya menunjuk sebuah almari putih di sudut kamar ini. Aku bergegas keluar kamar mandi dan membuka pintu almari putih sesuai dengan arahan Mas Farid. "Banyak sekali baju perempuan", gumamku. "Ini–?" "Ia, itu baju kamu semua. Sudah Mas siapkan. Itu ada baju gamis, baju kurung, tapi nggak ada celana jins ya!" candanya. Mas Farid sangat faham jika alumni santriwati Pondok Al-Islam tak pernah berani memakai celana jins. Segera aku bergegas kembali menuju kamar mandi.  Kuambil shower yang tergantung pada gagangnya. Kusiramkan titik-titik air dingin ini pada tubuhku.  Segarnya mandi kali ini. Semoga setelah mandi nanti, tubuhku terasa lebih ringan dan nyaman. Betapa tidak, jam tiga dini hari aku sudah bangun dan siap untuk dirias. Jam tujuh pagi aku sudah bersimpuh di masjid untuk melaksanakan ijab qabul. Jam sembilan pagi aku sudah duduk manis di atas pelaminan sampai dengan jam empat sore.  "Sudah, Dek?" Kudengar suara Mas Farid dari luar kamar mandi memanggilku. "Jangan lupa wudlu sekalian, kita langsung Shalat Ashar," imbuhnya. Aku segera bergegas membilas tubuhku dan meraih handuk putih yang sudah aku siapkan tadi. Kupakailah gamis yang sudah dibelinya untukku.  "Alhamdulillah, pas sekali," desisku. Segera aku keluar kamar mandi dan menunaikan Shalat Ashar bersama suamiku.  Tok… tok… tok…! "Riiid, Fariiid!" Tiba-tiba aku mendengar suara Ibu mertuaku berteriak memanggil suamiku dari balik pintu. "Ya, Bu!" Suamiku berlari kecil untuk segera membukakan pintu itu. "Kamu ini, baru saja punya istri sudah ngumpet di kamar terus. Nggak keluar-keluar. Itu ada temanmu!" ketus ibu. "Ngumpet di kamar terus? Perasaan di kamar cuma mandi dan sholat. Astaghfirullah," lirihku. Sembari membuntuti suami keluar, hatiku berubah menjadi tidak karuan mendengar perkataan Ibu mertuaku tadi. Ah sudahlah. Mungkin hanya perasaanku saja. Aku berusaha menenangkan diri. *** Malam pun tiba. Ini malam kami berdua. Malam yang indah dimana kami berdua dapat meluapkan rasa cinta kami sebagai dua insan yang cintanya diridloi oleh Sang Maha Pemberi Cinta dan Maha Segala-galanya. Tak lupa malam ini kami awali dengan sholat berjamaah. Mas Farid menatapku dengan sayup mata yang berbinar sembari menyungging senyum manis untukku.  Entah apa yang aku rasakan. Tatapan mata suamiku membuat aku bergetar luar biasa. Tak kuasa aku menahan degupnya dada ini. Kusalami tangan Mas Farid seusai shalat dan ku ci-um punggung tangannya. Ditariknya kepalaku ke arah wajah suamiku yang tampan ini. Dici-umnya keningku dengan pelan dan penuh kehangatan. Tak terasa bulir air mata ini meleleh begitu saja. Menetes pelan membasahi mukena putih yang aku kenakan. Tak lupa Mas Farid memanjatkan doa untuk menunaikan kewajibannya malam ini bersamaku. Malam hangat yang penuh cinta dan kasih sayang yang luar biasa. Sungguh betapa indahnya malam ini kami lalui bersama berdua.  *** Tok… tok… tok…!!! "Farid!!! Bangun!!! Sudah jam lima  ini!!! Farid!!!" seru ibu. "Astaghfirullah!"  Mas Farid tersentak karena suara teriakan ibu mertuaku. "Astaghfirullah. Kita nggak dengar adzan Subuh, Mas," ucapku gagap. "Nggak apa-apa. Bangun, kita mandi langsung sholat." "Aku bukakan pintu Ibu dulu, Mas", ucapku. "Jangan! Biar aku saja. Kamu mandi aja sana!" Jawab suamiku sembari menggeliatkan badannya. Seketika Mas Farid membukakan pintu untuk Ibu. "Oh, Ibu. Ia ini saya sama Dek Minari sudah bangun, Bu. Dek Minari lagi mandi. Kami siap-siap mau Shalat Subuh dulu!" Aku dengar sayup-sayup suara suamiku dan Ibu mertuaku dari dalam kamar mandi. "Ini ya, Rid. Sebelum keterusen. Ibu mau bilang. Bilang sama istrimu itu! Adzan Subuh mbok ya udah bangun. Langsung ke dapur. Bantuin Ibu masak. Mana ada, menantu bangun siang terus Ibu mertua yang menyiapkan sarapan. Kuwalat sama orang tua itu namanya!" "Ssssstttt…. Ibu! Nanti Dek Minari dengar. Ini kan jam lima, Bu. Belum siang juga. Maklum juga, pasti dia capek. Seharian kemarin kan baru saja ijab qabul. Suruh duduk terus. Banyak tamu juga."  Aku dengar sayup-sayup suamiku membelaku di depan ibunya. "Ya Allah, aku merasa ini pertanda kurang baik untukku. Sepertinya Ibu mertuaku kurang menyukai keberadaanku. Atau mungkin sebatas perasaanku saja," desisku dalam hati. *** "Ibu, selamat pagi. Sini biar saya yang masak, Bu." Aku buka obrolan dengan Ibu mertuaku pagi ini di dapur. Semoga dapat mencairkan suasana yang kurang nyaman di pagi ini. Hari pertama aku berada di rumah ini. "Ndak usah!" Ibu menolak tawaranku. Ia juga tak mau melihatku sedikitpun. "Oh ia, Bu, apa saya bantuin yang lain?" balasku. "Kamu dengar, ndak usah! Orang sudah matang semua. Ini saya sudah masak dari jam empat pagi lho! Sebelum kamu bangun. Bapak Farid itu terbiasa sarapan pagi-pagi sekali. Jam enam, masakan harus siap semua di meja makan!" Ibu mertuaku menjelaskan kepadaku. Kali ini nada suaranya semakin meninggi. "Oh ia, maafkan saya ya, Bu! Biar saya bersih-bersih rumah saja. Besok insyaaAllah saya bangun lebih pagi." Braakkkkk…! "Ngejawab terus kamu, ya! Kamu mau beberes rumah? Lha gimana kamu itu! Kamu lupa, ini kemarin, orang-orang, saudara-saudara Farid ini sampai jam dua malam beberes rumah. Lha kamu mau beresin apa? Udah bersih semua!" Ibu menjawab tawaranku sembari melempar tutup panci besar itu ke arahku. Tak terasa bulir air mata ini keluar begitu saja. "Istighfar Minari, sabar Minari, sabar, istighfar," rintihku dalam hati. "Ada apa teriak-teriak, Bune? Ndak malu didengar tetangga. Ada apa?" Bapak mertuaku terlihat panik mendengar keributan dari arah dapur. "Ndak apa-apa!" seru ibu. "Kamu nggak papa 'kan, Min?" tanya Bapak mertuaku. "Enggak, Pak. Nggak papa kok, Pak." Aku menjawab pertanyaan Bapak sembari menyungging senyum kecil untuk meyakinkan keadaan pagi ini. "Ya sudah kalau baik-baik saja. Langsung sarapan saja. Itu Farid lagi lari-lari kecil di halaman rumah. Suruh masuk, diajak sarapan. Kamu juga sarapan. Jangan sampai telat makan. Nanti jadi penyakit. Ini ni, asam lambung kayak Bapak kamu ini. Perut sudah buncit gini, tambah asam lambung pula!" Bapak mertuaku mencoba mencairkan suasana dengan sedikit guyonannya. "Ohya, Min, kamu harus ingat, ini bapakmu punya penyakit asam lambung, kalau ibumu darah tinggi. Sukanya marah-marah terus. Untung cantik. Jadi Bapak suka. Kalau jelek, suka marah-marah ya bapakmu ndak mau sama ibumu. Ha ha ha!" Imbuh bapak mertuaku. Kulihat tawanya semakin keras mencoba merayu Ibu yang tengah merajuk. Entah lah apa sebabnya. "Situ!!! terserah kamu, Pakne!!!" Ibu menjawab dengan singkat. Aku tinggalkan dapur begitu saja. Aku ikuti saran Bapak mertuaku untuk menghampiri Mas Farid yang tengah berolah raga pagi di halaman rumah. "Mas sarapan, yuk," ajakku dari teras rumah. "Kamu masak apa?" Suamiku merespon ajakanku sembari mendekatiku dan merangkulku menuju meja ruang makan. "Ibu yang masak, Mas. Tadi aku masuk dapur, masakan sudah matang semua. Maafin aku ya, Mas," ucapku sedih. "Lho, kok minta maaf. Tidak apa-apa. Harusnya Mas yang minta maaf. Harusnya Mas bangun lebih awal terus bangunin kamu. Jadi kamu bisa bantuin Ibu masak. Dah, sudah. Lupakan! Besok bangun pagi, ya. Jangan goda Mas kalau di ran-jang. Bisa-bisa Mas teler dan bangunnya jam sepuluh lagi!" Suamiku menggoda sembari mencubit pipiku. *** "Bapak makan apa sini Ibu ambilkan. Mau tumis atau mau sayur sop saja?" tanya ibu. "Tumis saja, Bu. Yang banyak, ya. Nasinya sedikit saja!" jawab Bapak mertuaku. "Farid makan tumis apa sayur sop?" Kali ini aku lihat Ibu sengaja mendahuluiku untuk melayani Mas Farid. "Biar Minari saja, Bu. Mas Farid pasti suka tumis, 'kan? Sini aku ambilkan!" Kali ini aku memotong tawaran ibu untuk melayani suamiku. "Naaaa…. Mulai, 'kan?! Sok tahu ini istri kamu ini! Hei Minari, kamu tahu, ini saya masak dua menu. Satu sayur sop. Dua, tumis. Tahu nggak, Bapak sukanya sama sayur ditumis, tapi Farid ini nggak suka. Makanya ibu masak sop juga. Tu, kasih tahu istrimu ini!" Kali ini ibu menghardikku dengan suara yang sangat keras. "Bu, Ibu, tolonglah, Bu. Dek Minari ini baru kemarin sore lho tinggal di rumah ini. Ibu tu ya, kenapa? Maklum lah kalau Dek Minari ini belum tahu kebiasaan dan kesukaan Farid," sergah bapak. "Tahu lah! Ibu nggak jadi makan! Situ kalian bertiga makan sendiri!" Braakkkk!!! Ibu menuju kamar dan membanting pintu. -BERSAMBUNG- Nb. Assalamuallaikum wr. wb. Hai Kak, lanjutan cerita ada di akun saya, ya.. Cerita sudah sampai bab 45. Bila berkenan, mari mampir ke akun saya dan jangan lupa follow akun dan cerita saya.. Semoga Kakak dilancarkan rejekinya.. Terima kasih ❤️🙏 Wassalamuallaikum wr. wb.
1
Pusparani
Halo, Kak. Baca novelku ISTRI SANG JURAGAN, yuk. Gratis. Siapa tahu suka. Terima kasih.
1
Faida Risqiana
Assalamualaikum, salam kenal ya Kak, bila berkenan yuk mampir ke ceritaku, judulnya Kegagalan Membawa Berkah 🙏☺️
1
Enik Yuliati
HASRAT SANG PENGGODA Part 1. Siapa yang bersama Ibu mertuaku. Pov Ellinna Tengah hari yang teramat terik. Sang Surya memancarkan sinarnya, dengan segala keangkuhannya. Pun Bumi, dia hanya bisa berpasrah diri, ketika harus menerima radiasi yang lebih banyak lagi. Sungguh, badanku terasa pegal. Tulang-tulang pun berasa remuk semua. Hampir setiap hari hanya bisa berpasrah diri, ketika harus memanjakan suami yang sungguh teramat perkasa. Namun Mas Ali juga sangat mengerti dengan kelelahanku. Dia sering menyuruhku pulang, meninggalkan hiruk-pikuk ramainya toko. Pulang ke rumah, mencari tempat yang paling nyaman. Tidur siang di peraduan. Namun belum juga netra ini terpejam, samar-samar, kudengar suara perempuan dari arah dapur, sedang berbincang-bincang. Kupejamkan mata, berharap indra pendengaranku akan bisa menangkap getar-getar suara, dengan lebih baik lagi. Tidak asing lagi, itu suara Ibu mertuaku. Tapi dengan siapa, dia? Bukankah ini rumahku? Mengapa mereka ada di dapurku? Suara mereka terdengar semakin riang. ***** Aku memang punya dapur transparan yang cukup mewah, menurutku. Dapur dengan atap separuh kaca, dan dinding atasnya juga kaca. Bisa memandang pepohonan di taman belakang rumah. Jika kacanya di buka, maka akan terasa sejuk, ketika wajah tersapu oleh hembusan angin yang berdesir lembut, dari perkebunan di belakang rumahku. Dapurku juga di lengkapi dengan perabotan mewah, yang tertata rapi, meskipun belum semuanya pernah ku pakai. Dapur impian untuk semua perempuan. ***** Hati pun dilanda rasa penasaran. Kulangkahkan kakiku, turun dari peraduan. Lekas kusambar kerudungku, kupakai begitu saja. Tak lupa bercermin. Entah mengapa, setiap akan bertemu dengan Ibu mertuaku, aku merasa tidak percaya diri. Padahal suamiku selalu bilang, bahwa aku cantik. Dengan langkah pelan aku mendekati mereka. Namun sepertinya mereka tidak menyadari keberadaanku. Mereka terlalu asyik berkomentar, tanpa mengindahkan, bahwa Sang nyonya rumah, hanya berjarak sejengkal saja. Mereka terlalu asyik berbincang, saling bersahutan. "Dapurnya bagus ya, Bu? Coba aku punya dapur seperti ini. Pasti deh bakalan rajin memasak untuk Mas Ali. Tapi lihat deh Bu, perabotan ini seperti baru semua, tidak pernah dipakai. Pasti istrinya Mas Ali itu pemalas ya, Bu. Kasihan deh, Mas Ali, punya istri gak bisa masak." Perempuan itu terus saja mengoceh, sambil sesekali mengelus-elus peralatan masak di dapurku. Sesekali dia mengibaskan rambutnya. Lagaknya sudah seperti Nyonya di rumah ini. Bukan, bukan seperti Nyonya. Tapi meniru lagak chef yang ada di tv. Dia berjalan mengitari setiap sudut dapur ini. Aku masih setia, bersembunyi di balik pintu yang sedikit terbuka. Sesekali, aku bisa melihat wajah Ibu. Tampak jelas, bibirnya condong ke barat, ke timur, padahal wajahnya sedang menghadap ke utara. Mimik wajahnya sangat lucu. Dan perempuan itu? Kulihat wajahnya memang cantik. Rambut panjang terurai dengan cat pirangnya. Kulit putih, meskipun tidak seputih susu. Tinggi semampai, dengan tubuh yang proporsional. Dengan dada dan bokong yang besar. Ah, tapi tetap saja, aku lebih cantik tentunya. Coba deh, tanyakan ke Mas Ali. Dia pasti akan bilang, bahwa aku adalah yang tercantik. Aku harus percaya diri. "Kamu jangan khawatir, sebentar lagi juga kamu bakalan jadi ratu di rumah ini. Menggantikan mantuku yang mandul itu. Kita hanya harus pintar bersandiwara. Kamu mainkan peranmu secantik mungkin. Jangan sampai rencana kita berantakan. Rayulah Ali, sampai dia jadi milikmu. Berikan aku cucu. Ok?" Spontan, aku menutupkan telapak tanganku, menutupi mulutku, yang membentuk huruf o. What ? Mantu mandul? Ibu mertuaku bilang, mantu mandul? Ok, baiklah. Orang bodoh pun tahu arah pembicaraan mereka. Tak perlu menerka-nerka, aku sudah sangat paham. Sepertinya aku akan ikuti sandiwara mereka, dan akan kupastikan, mereka hanya akan jadi figuran saja. ***** Aku berjalan dengan anggun ke arah mereka. Kulengkungkan bibirku membentuk senyuman. Meskipun dadaku terasa bertalu-talu, meletup-letup tidak karuan. Kupamerkan senyum terbaikku. Memperlihatkan lesung pipi yang cukup dalam, dan gigi yang rapi, putih terawat. Akan aku tunjukkan bahwa aku adalah Nyonya di rumah ini. Aku adalah wanita yang dicintai oleh suamiku. Akulah, Nyonya Ali. Tak akan kubiarkan, orang lain merebutnya, meski nyawa taruhannya. Kupastikan, dia tidak akan bisa memiliki Mas Ali, meski hanya dalam dunia halusinasinya saja. "Eh, Ibu .... Kapan datang Bu? Nyuwun ngapunten, tadi saya ketiduran, jadi tidak tahu, kalau ada Ibu?" Kubungkukkan tubuhku, mencium pipi Ibu mertuaku. "Oh ... kamu di rumah ya? Kukira kamu pergi ke toko ... " Ucap Ibu mertuaku, sambil tersenyum menutupi kegugupannya. "Enggak, Bu. Saya sedang agak capek, jadi memutuskan untuk pulang siang ...." Jawabku, masih terus tersenyum menatap Ibu mertuaku. "Ellin, kenalin, ini namanya Dina. Dia yang mau bantu-bantu di rumah ini, biar kamu gak kecapekan. Kamu kan lagi program hamil, kan Sayang? Biar cepet jadi. Masak sudah lima tahun, kok gak jadi-jadi," gerutu Ibu. Ibu mertuaku pun tersenyum tidak kalah manisnya, sambil menyodorkan tangan gadis yang bernama Dina itu. Kami pun bersalaman. Sengaja, sedikit kuremas tangannya. Dan kusuguhkan senyum yang ... sedikit miring. Kupandang wajah Dina. Dia tersenyum canggung. Sepertinya dia bisa membaca gestur tubuhku. Sedangkan Ibu mertuaku masih tersenyum manis sekali. Gula pun, akan kalah manisnya, jika disandingkan dengan senyuman Ibu mertuaku. Orang lain pasti akan mengira, jika senyum itu tulus. Begitu pun aku, jika tadi tidak sempat menguping pembicaraan mereka, pasti aku pun akan tertipu. Mereka pantas di beri nilai seratus, untuk awal dari sebuah sandiwara yang mereka rencanakan. Pemain drama yang sangat ulung. Sungguh mereka layaknya duo serigala wanita, yang memakai jaket berbulu domba. Hanya saja mereka tidak sedang berjoget di atas panggung. Mereka sedang memata-mataiku. Aku tahu, itu. Mereka menunggu kelengahanku untuk merebut Mas Aliku. "Maaf, Bu, bukannya saya menolak, tapi di rumah ini, hanya ada saya dan Mas Ali. Sepertinya kami tidak butuh pembantu," elakku, dengan tetap santun. "Bukan pembantu, Ellinna, cuma bantu bantu .... Biar kamu bisa fokus mengurus toko, dan program hamilmu. Kamu kan tahu, Ibu sudah kepingin cucu dari Ali. Kamu belum juga memberikan. Kapan kamu akan hamil. Ibu sudah tidak sabar." Lagi dan lagi. Ibu menyinggung perihal kehamilan. Selalu dan selalu seperti itu. Perih yang kurasa. Namun sudah biasa. Aku terus mensugesti diriku sendiri. Aku lebih baik, aku lebih menarik, aku lebih dicintai, dan tentunya Mas Ali sangat tergila-gila denganku. "Baiklah Bu, jika itu yang Ibu inginkan, saya setuju saja. Tapi nanti ya, Bu? Ibu minta pendapat Mas Ali dulu .... " Sukses, mereka tersenyum, penuh kemenangan. Lihat saja, apa yang akan Mas Ali lakukan. Mas Ali tidak suka, jika ada orang asing yang tinggal di sini. Bahkan mas Ali rela mengepel lantai demi aku, agar tidak merengek meminta pembantu. Alasannya karena Mas Ali tidak suka jika ada yang mengganggu privasinya, jika dia sedang menginginkan aku. Mas Ali adalah tipe suami yang romantis, yang suka memanjakan aku di semua sudut di rumah ini. Di ruang tamu, di ruang makan, di meja dapur, di balkon, di kamar mandi .... Ah, Mas Aliku, entah mengapa, tiba tiba aku menjadi rindu .... Padahal tadi pagi, kami baru saja saling mereguk surganya dunia. Ah, indahnya menjadi pasangan halal .... ***** Siapa yang bisa menolak pesona Mas Ali. Wajah yang tampan rupawan, fisik yang sempurna, dan juga seorang laki-laki yang gila kerja. Laki-laki yang sangat ulet. Meskipun kami bukan orang kaya, tapi kami tidak pernah merasa kekurangan materi. Aku selalu merasa cukup, dengan semua pemberiannya. Rasa kantuk yang teramat sangat, menghilang sudah, menguap entah kemana. Berubah menjadi rasa kesal karena kedatangan mereka. Calon pelakor yang pura pura ingin menjadi babu. Silahkan, kamu bermainlah dengan peranmu sebagai babu, aku pun akan bermain dengan peranku sebagai ratu. Kamu salah masuk kandang, sayang... Jangan harap aku akan mengalah.
1
Susmiati Sekali Deh
Terimakasih udah follow back me, mampir ke ceritaku ya Kak. Aku tak mau disebut Pelakor dan Suamiku kabur meninggalkan hutang, masih bab 7 dan 8 lho
3
Khaliqa Iyar
Assalamualaikum, Kaka... jika berkenan, dan ada waktu, boleh mampir ke ceritaku. Ada tiga judul yang sudah tamat. Anak Korban Perkosaan, A Million Dream Kanaya, dan Aku Lelah, Mas. Semoga kakak suka, ya. Ada cerita yang gratis, free koin, ya, kak.
1